A directory

Menjadi Orangtua yang Baik, Adakah Kesempatan Kedua?

7 komentar

Menjadi orangtua bukan tanpa kesalahan, namun bukan berarti akhir segalanya. Menyadari kesalahan, kembali ke titik awal lalu bertumbuh menjadi lebih baik lagi.

Ruang konseling itu sunyi hanya ada bunyi detak jam dinding. Dua orang berbeda usia itu tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Setelah sesi orangtua beberapa waktu lalu kini saatnya sesi anaknya.

Anak yang awalnya manis dan baik, seiring bertambahnya usia berubah menjadi kasar, sinis, dan sering membuat masalah di sekolah. Sering kali ia ketahuan tak mengikuti agenda sekolah. Bolos di jam pelajaran, bahkan ibadah tak serutin dulu. Jangankan sholat jama'ah yang menjadi agenda rutin sekolah berasrama ini, bahkan sholat fardhu pun sering kali terlewat.

Dengan beberapa pendekatan yang lumayan membutuhkan effort, membangun kepercayaan dan menampakkan empati, akhirnya si anak bersedia mengikuti sesi ini, buka sesi konseling lebih tepatnya sesi berbagi.

Terbata ia menceritakan bahwa saat ini ia tak lagi butuh beribadah. Jangankan beribadah, bahkan beragama pun ia tak hendak. Sudah pasti, ia siap dengan segala konsekuensinya. Apa pasal? Kecewa yang teramat sangat. Iya, sebuah kekecewaan yang teramat dalam kepada mereka yang berpredikat orangtua dalam keluarganya.

"Saya membencinya! "
"Hemm, bukan benci gimana. Lebih tepat tak ingin peduli lagi dengan mereka."

Teramat panjang jika diceritakan, luka demi luka yang ia alami. Namun, setidaknya ada beberapa poin penting yang bisa diambil sebagai pelajaran. Dan dari peristiwa yang dialami seorang anak yang memendam kekecewaan teramat dalam pada orangtuanya, saya seperti berkaca kembali, sejatinya apa sih yang dialami oleh anak-anak kita? Apakah mereka bahagia atau jangan-jangan hal yang sama terjadi pada anak-anak terhadap kita.

Seperti sebuah survei yang dilakukan pada sekelompok anak untuk menggambarkan bagaimana orangtua mereka. Ada yang menggambarkan orangtuanya seperti monster, bahkan ada anak-anak yang selama ini ternyata membenci orangtuanya.

Sebelum Amanah Menjadi Orangtua Berada Tangan Kita


Tidak mudah menjadi orangtua memang. Tapi ketika peran itu dihadirkan kepada kita, artinya sebuah amanah besar yang harus dipertanggungjawabkan kelak kepada yang memberi peran. Sebagai orangtua, kita punya pilihan. Menjadi orangtua yang apa adanya, menjadi orang tua yang egois dengan ambisi dan masih berkutat dengan masalah pribadi atau menjadi orangtua yang tumbuh berkembang seiring tumbuhnya peran dan besarnya amanah.

Jika menjadi orangtua mempunyai banyak pilihan, tidak dengan anak - anak. Mereka tidak bisa memilih oleh siapa akan dilahirkan, orangtua yang bagaimana dan seperti apa ia akan diasuh dan dididik kelak. Semua sudah default dari Sang Pencipta.


Maka, yang harus diusahakan adalah, memantaskan diri sebagai orangtua agar mampu menciptakan ruang tumbuh dan kembang anak dengan baik. Mengubah keterlanjuran atas salah yang tak disadari dengan langkah perbaikan.

Tuntaskan segala urusan di masa lalu


Sebelum mendapatkan amanah membersamai anak-anak, kita juga pernah menjadi anak-anak. Mungkin ada urusan di masa anak-anak kita yang belum tuntas. Inner child salah satunya, yaitu sebuah respon, sifat, dan sikap seseorang yang terbentuk dari pengalaman masa kecil baik itu pengalaman positif maupun negatif.

Inner child ini sangat berpengaruh pada pola asuh yang akan kita jalankan ketika masih belum tuntas. Dari sesi konseling ini pun ternyata inner child si orangtua memberikan dampak besar pada pengasuhan anak tersebut.

Ubahlah mimpimu menjadi mimpi keluarga


Mimpi yang belum terwujud, dan menjadi ambisi pribadi, bolehkah? Wajar ketika masih muda kita punya banyak impian bahkan ambisi. Namun, ketika impian itu tak tercapai karena banyak sebab hingga berakhir dengan kekecewaan yang terpendam dan jauh di lubuk hati lalu menjadi sebuah obsesi yang akhirnya ditaruh pada pundak anak-anak, tentu akan beda. Sementara si anak punya impian yang berbeda dengan obsesi orangtuanya.

Keadaan ini diperparah dengan kenyataan di lingkungan sosial orangtua tersebut. Melihat saudara-saudara kandung si orangtua dan teman-temannya yang mampu mewujudkan mimpi dan cita-cita masa kecil. Mereka tumbuh dengan impian masing-masing dan mampu mencapainya.

Masih menyimpan impian dan cita-cita di masa lalu sah-sah saja asal tidak menjadi obsesi yang kelak akan dibenamkan ke pundak anak-anak kita. Atau tetap memelihara impian dan mewujudkannya seiring dengan tumbuh kembang anak-anak. Berusaha mencapainya seiring menjalani peran sebagai orangtua. Ini sih malah bagus, jadi orangtua dan anak tumbuh bersama. Membangun project keluarga bersama dan mewujudkan impian bersama.

Jangan pernah punya standar ganda


Salah satu toxic yang bisa menumbuhkan hilangnya respect anak-anak kepada orangtua adalah standar ganda dalam pengasuhan. Misalnya kita menggunakan standar agama yang ketat dalam membesarkan anak-anak namun kitanya sendiri longgar.


Anak-anak harus disiplin, kerja keras dan terus berprestasi sementara orangtua tidak. Ibarat kata, menyuruh anak belajar tapi orangtuanya tidak mau belajar.. Meminta anak. Menghafal Al Qur'an sejak usia dini, sementara orangtuanya tidak menunjukkan dukungan dan contoh.

Terlebih standar ganda terhadap orientasi hidup. Orangtua menetapkan orientasi hidup untuk akhirat dengan prioritas belajar ilmu agama. Disisi lain ia masih khawatir bagaimana kehidupan dunianya. Orangtua memproyeksikan hidup spiritualitas diatas segalanya, padahal kecenderungannya masih materialitas bahkan praktek - praktek materialisme terlihat gamblang.

Jelas anak-anak akan bingung, orangtuanya nggak jelas begini ya nggak sih. Pastinya. Jangankan keteladanan, bahkan pegangan untuk menjalankan kehidupan saja tak jelas.

Kesalahan wajar, meminta maaf dan berubah


Menjadi orangtua tanpa kesalahan, sesungguhnya adalah hal yang mustahil. Bagaimanapun juga, orangtua masih manusia biasa. Namun, kesalahan bukan aib yang tak layak untuk diakui dan meminta maaf.

Dan, meminta maaf tanpa berubah lebih gawat daripada berbuat salah itu sendiri. Ini bumerang yang akan membuat anak-anak tidak percaya lagi.
Ah paling hanya maaf di bibir saja.

Ah iya, semua sudah jauh dari koridor yang ditetapkan, tapi bukan berarti tidak bisa kembali lagi. Kuatkan tekad untuk berubah, rangkul anak-anak kembali dan tumbuhkan kepercayaan.

Penutup


Semua orangtua, dimanapun pasti menginginkan yang terbaik buat anak-anaknya. Mereka sudah berusaha menjadi orangtua terbaik versi keluarga masing-masing. Namun, tak semua orangtua mampu memperlakukan anak-anak dengan tepat sesuai yang diinginkan anak-anaknya. Sebagai manusia biasa, terkadang tak luput dari kesalahan, bisa karena ketidaksengajaan, keterbatasan atau ketidaktahuan.


Karenanya, sebagai penerima amanah mengasuh anak-anak, untuk meminimalisir human error, kita harus terus belajar, keep trying dan keep learning agar terus menjadi orangtua yang tumbuh dan berkembang seiring pertumbuhan anak-anaknya. Salah itu biasa, dan akan menjadi luar biasa jika menyadari lalu memperbaiki.



Tami Asyifa
Seorang ibu dengan 7 anak, saat ini sedang menikmati menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya tapi tetap produktif. Pendidikan dan literasi adalah bidang yang menarik baginya.

Related Posts

7 komentar

  1. Ternyata saya masih menganut standar ganda, Bu. Saya pengin anak-anak bisa belajar lebih, tapi saya sendiri sering males. Terima kasih, Bu, ini bisa jadi pembelajaran saya untuk bisa lebih baik. Aamiin.

    BalasHapus
  2. Semoga kita sebagai orang tua selalu diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri terus-menerus dan bisa menjadi ortu yang baik buat anak2 ya mbak, TFS artikelnya :D

    BalasHapus
  3. Meneduhkan sekali ya Bu Tami, Masha Allah, benar-benar reminder banget. Salah satu anugerah yang luarbiasa bisa mendapatkan amanah..Apalagi sampai tujuh anak , tidak bisa membayangkan

    BalasHapus
  4. Kadang aq merasa masih banyak kekurangan tapi saat aku tanya anakku dz selalu bilang mama ibu yang baik, rasanya dihati gimana gtu, mudah"an kita semua terus menjadi ibu yang baik untuk anak-anak kita ya mbak

    BalasHapus
  5. Menjadi orang tua ternyata tidak mudah ya? Dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan zaman agar bisa mengikuti tumbuh kembang anak.
    Terimakasih mbak Tami, sudah membuat saya introspeksi diri...

    BalasHapus
  6. Hal yang perlu diajarkan ornagbtua kepada anak sejak dini salah satunya adalah meminta maaf. Naun sayangnya, ornag tua tidak atau belum menyadari the power words. Orang tua terkadang lebih memilih jaim dan gengsinya dari pada minta maaf kepada anak dikala membuat kesalahan.

    BalasHapus
  7. artikel bagus banget ka, buat reminder diri sendiri, mudah-mudahan di msa depan aku bisa ngedidik anak-anaku dengan baik

    BalasHapus

Posting Komentar