A directory

Makna Anak Bagiku: Mereka Manusia Merdeka

22 komentar

Di titik ketika anak-anak mulai meninggalkan rumah dan tumbuh kian cepat, menghadirkan sebuah tanya. Apakah aku akan kembali berdua dengan suami atau bahkan sendiri? Di saat seperti ini kucoba kembali mengali makna anak dalam kehidupan ini. Kehadiran mereka memang kita yang mengharapkan bahkan merencanakan, tapi mereka adalah milik Sang Pencipta, ada atau tiadanya, dekat atau jauhnya dari kita adalah takdir Maha Kuasa. Dan selain takdir, mereka adalah dirinya yang merdeka.

Kehadiran Anak dan Segala Perniknya


Kehadiran anak adalah anugerah, tak sedikit pasangan menikah yang mengharapkannya meskipun kini ada semacam arus berpikir yang ingin meniadakan anak dalam kehidupan pernikahan atau lebih dikenal dengan freechild. Meski menjadi orangtua tak mudah, bukan sekedar memenuhi kebutuhan materi saja tapi juga kasih sayang dan menjaga agar mereka tetap berada dalam nilai kebaikan. Belum lagi keriwehan ketika anak-anak masih kecil, rasanya, waktu dan tenaga kita terpusat pada anak semata.

“Kita hanya butuh bersabar, karena waktu akan terus berjalan hingga tak terasa anak-anak membesar.”


Semua orang juga bisa bilang begitu. Pernah mendapat tanggapan seperti ini? Tidak apa.
Membersamai anak memang tak mudah. Anak satu, dua atau banyak sekalipun repotnya tetap sama. Rumah kita ramai tiap hari, terlebih jika anak-anak sudah mulai berselisih, berbeda pendapat, ngambek dan aneka pertengkaran antar saudara. Belum lagi mainan dan aneka benda berserak sepanjang rumah. Dapur yang selalu hidup karena harus menyediakan suplai makanan buat mereka. Tapi bukankah seperti ini galibnya sebuah rumah? Hingga nanti tiba masanya, satu per satu anak-anak kita pergi meninggalkan rumah.

Lalu rumah menjadi sepi dan kita kembali merindukan masa-masa rumah kita riuh dengan celoteh mereka. Ah itu kan masih lama. Benar jika kita tak sabar menikmati prosesnya. Maka bersyukurlah, jika rumah kita dipenuhi keributan oleh tingkah anak-anak kita. Tak sedikit rumah yang masih sepi karena tak kunjung hadirnya buah hati Tak sedikit rumah yang telah sepi, karena anak-anak mulai besar dan punya kesibukan sendiri - sendiri. Bersyukurlah jika masih bisa menikmati itu semua.

Makna anak bagiku


Mendapat amanah tujuh orang anak tentu tak mudah, tapi tetap menjadi sesuatu yang luar biasa. Anugrah yang tak terhingga dariNya. Anak bagiku adalah amanah yang dititipkan oleh Allah SWT. Bukan sesuatu yang kebetulan atau sembarangan jika Allah sudah memberi amanah, artinya kita dipercaya olehNya. Sekarang tugas utama kita adalah bagaimana menjaga amanah itu dengan sebaik-baiknya hingga kelak kita bisa mengembalikan amanah tersebut kepada Sang Pemberi amanah dengan sebaik-baiknya keadaan.

Saat diamanahkan kepada kita, anak-anak itu sudah dibekali dengan fitrah mereka masing-masing, maka tugas kita sebagai orangtua adalah menjaga fitrah yang sudah Allah instal pada diri anak-anak kita, bukan malah merusaknya. Sebagai penjaga fitrah, Allah juga menyediakan manual booknya yang berisi petunjuk bagaimana menjaga fitrah anak. Manual book yaitu Qur'an dan Sunnah. Itulah harusnya yang menjadi rujukan utama kita.

Anak Bukan Tumpuan Ego Orang Tua


Sebagai orang tua, kita hanyalah mengemban amanah. Anak-anak kita bukan milik kita yang menjadi tumpuan segala harapan kita. Mereka adalah pribadi yang merdeka sesuai dengan fitrah penciptaannya. Kedudukan anak sebagai pribadi yang unik dan istimewa serta berharga, maka orangtua harus menempatkan respek atas kepribadian anak dan tulus memberi ruang pada anak untuk menjadi dirinya sendiri, menghargai hak anak serta keautentikannya.

Kita, hanya berperan seperti petani. Tanaman yang kita usahakan mempunyai kehidupan sendiri dengan menjalani takdirnya. Tugas kita hanyalah mempersiapkan ladang yang baik, yang subur. Memastikan pengairan tersedia, nutrisi yang cukup dan cahaya yang memadai.

Lalu ketika benih disemai, mereka akan tumbuh secara alami. Jika tanaman itu tumbuh subur, sehat dan menyenangkan yang memandang, ingatlah kita hanyalah petani yang merawatnya. Seperti apa buah yang akan dihasilkan nanti, bukan hak kita menentukannya.

Atau seperti induk angsa yang melatih anaknya masuk ke air dan berenang hingga akhirnya anak-anaknya bisa berenang, tidak takut air bahkan gagah berani mengarungi arus air dan jadilah mereka perenang yang hadal. Lalu mereka tak lagi mengikuti induknya dan siap mencari makanan sendiri.

Seperti itulah anak-anak kita. Kita tidak dapat memaksanya menjadi seperti keinginan kita. Terlebih untuk dipamerkan dan dibanggakan sesuai standar kita. Misalnya kita berusaha sekuat tenaga anak-anak bisa membaca, karena usia mereka anak-anak lain sudah lancar membaca. Memintanya les ini itu agar anak-anak mempunyai skill yang membanggakan. Memilihkan jurusan studinya untuk meneruskan impian kita. Dan banyak lagi contoh yang lain. Tapi mereka tak bahagia, dan semua itu jadi beban atas kewajiban sebagai anak yang harus patuh pada orang tua.

Anak adalah Investasi Masa Depan?


Tak salah menjadikan anak sebagai investasi, dunia akhirat malah. Sah saja kok punya harapan seperti ini. Tapi nampak adanya ego orang tua, iya ngga sih?  Mengharapkan anak berhasil dalam studinya lalu bekerja dan sukses seperti impian kita, hingga kelak membalas jasa kita dan menjadi tumpuhan hidup di masa tua kita? Lalu kita kecewa tatkala anak-anak tak memilih apa yang kita harapkan. 

Mengharapkan anak-anak menjadi aliran pahala bagi kita? Mengharapkan anak-anak menjadi penghafal Allah Qur'an sehingga memberi mahkota dan syafaat? Sungguh, harusnya bukan sekadar impian mendapatkan mahkota kebesaran atau agar syafaatnya kelak menarik orang tuanya ke syurga. Sekali lagi bukan. Apakah orang tua harus seegois itu agar anaknya menjadi menghafal Qur'an. Tentu tidak bukan.

Balasan syurga itu tidak harus disandarkan pada amalan orang lain, meski itu anak kandung yang memang ada jaminan doanya dan permohonan ampun atas dosa orangtuanya tak terputus hingga ruh kedua orangtua terlepas dari raga. Bahkan menjadikan amalan sendiri berbalas surga pun, rasanya terlalu sombong.  Karena kelak jika kita mendapatkan surga itu semata-mata adalah rahmat dari Allah SWT. 

Jadi, biarlah anak-anak itu bagai anak panah lepas dari busurnya. Kita hanyalah busur yang sebaik-baiknya busur, agar kelak saat anak-anak panah itu lepas, mereka mampu menuju sasaran yang tepat. Biarlah mereka menjadi pribadi yang merdeka, tapi merdeka yang memerdekakan orang lain. Bukan merdeka tanpa batas. 

Penutup


Menjadi orangtua tidak mudah tapi bisa dijalani jika kita paham makna anak dengan baik. Tugas kita sebagai orang tua adalah membersamai anak-anak menemukan versi terbaik dalam hidupnya bukan menebak, mendikte atau menitipkan mimpi kita pada mereka. Ikut tidur bersama anak dan bermimpi bersama mereka, masuk dalam mimpi mereka dan bawalah ke dunia nyata. Karena anak-anak itu manusia yang merdeka.

Tami Asyifa
Seorang ibu dengan 7 anak, saat ini sedang menikmati menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya tapi tetap produktif. Pendidikan dan literasi adalah bidang yang menarik bagiku.

Related Posts

22 komentar

  1. ya setuju bun, biarlah anak anak panah itu melesat sesuai tujuan terbaiknya, tugas kita sbg ortu membimbing dan mengarahkan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak. Terima kasih, semoga kita dimampukan membersamai anak-anak kita.

      Hapus
  2. Anakku.... Ternyata bukan milikku... Duh, merinding saya bacanya... Makasih ya bunda tami yang baik hati dan tidak sombong... Sudah mengingatkanku akan makna anak yang sesungguhnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pak dokter ini, pujiannya membuat aku nggak bisa tidur. Hahaha

      Hapus
  3. Tulisannya menyentuh banget mbak,
    Ada kalimat yg langsung menyentuh hati ,,, anak bukan milik kita, hanyalah amanah
    Dan biarkan mereka menjadi pribadi yg merdeka dan memerdekakan orang lain... Menurut saya ini sama dgn kalimat : khoerunnass anfauhum linnass

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih banyak pak. Hamdan sudah melengkapi. Iya bener banget.

      Hapus
  4. Bund .. dalem banget ini asli, bolehkan pinjam istilahnya untuk kubagikan?
    Dan aku pun masih terus belajar untuk bisa menjadikan anak-anak dirinya sendiri sekaligus merdeka.

    BalasHapus
  5. Masya Allah, bunda. Mata saya berkaca-kaca baca artikelnya. Saya jadi diingatkan lagi hakikat mengasuh anak. Mereka bukan kertas kosong untuk saya tulis. Tapi orang dengan karakteristiknya sendiri :')

    BalasHapus
  6. Sepakat sekali dengan Bu Tami. Tak mudah menjadi orang tua, kadang masih ada ego untuk memaksakan anak sesuai kehendak kita. Terima kasih bu sudah remainder untuk menjaga fitrah anak-anak dalam pengasuhan orang tua

    BalasHapus
  7. Iya benar, anak2 itu manusia yg merdeka, aku suka kasian sama temen ku, yg bnyk tuntutan tapi nyatis gda tuntunan

    BalasHapus
  8. Kadang aku juga tidak sadar dalam memposisikan anak bukan sebagai manusia merdeka.menganggap anak adalah mainan yang bisa diatur sesuai keinginan orangtua. Padahal mereka manusia yang juga punya keinginan yang bisa saja berbeda dengan orangtuanya. tulisan reminder yang warbiasa. thanks Bun.

    BalasHapus
  9. Masya Allah, mrebes mili saya baca artikel Bunda Tami. Mata saya jadi terbuka banget bener-bener terbuka tentang polemik tanggung jawab anak yang dilimpahkan dari "impian orang tua". Analoginya bener-bener ngena di benak saya. Terima kasih sharingnya Bunda, semoga sehat dan bahagia selalu :')

    BalasHapus
  10. Ngomong-ngomong masalah ego, snagat penting nih orang tua khususnya ayah menumbuhkan ego pada anak bun.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, tapi beda tujuan. Ego harus tetap ada pada diri anak agar ia mampu menjadi pribadi yang asertif, nggak gampang ikut-ikutan. Tapi ego orang tua beda, ntar kalau anak besar akan kerasa deh apalagi kalau sudah sendiri. Saat mereka lupa tidak menelpon atau ngasih khabar... Banyak godaan deh... Salah satunya godaan terhadap menantu perempuan.

      Hapus
  11. anak bukan wadah meniitpkan mimpi kita yang tak tercapai duh kalo menuliskan quote ini rasanaya emang gak salahs ih tapi juga tak tepat, sebab anak benar adanya mereka juga manusia merdeka. orang tua adalah petani yang menyediakanlahan yang subur agar mereka bertumbuh aku sepakat bunda. keren ih pemikirannya

    BalasHapus
  12. anak adalah manusia yang merdeka, tapi sayang pikiran seperti itu rasanya terlalu berat untuk ditanamkan di bebrapa ortu. ya hehe... dan sepertinya itu juga salah satu penyebab anak merasa tertekan

    BalasHapus
  13. Duh, terharu sekali bacanya.. Semoga aku bisa membesarkan anakku dengan baik dan bisa menjadi anak yg baik jg untuk kedua orang tuaku. Aamiin..

    BalasHapus
  14. Kita hanya butuh bersabar, karena waktu akan terus berjalan hingga tak terasa anak-anak membesar, bener banget nih bun. Harus banyak belajar dr ibu 7 anak nih. Kpn² sharing dong bun

    BalasHapus
  15. Bu Tami, tulisan ini sungguh sungguh membuatku terharu. Betapa masih banyak orangtua yang "mengeksploitasi" anaknya tanpa sadar. Tapi dengan pemahaman ini, semoga banyak orangtua yang bisa lebih belajar dalam pengasuhan. Karena anak punya jalannya sendiri. Bukan untuk didekte ataupun dituntut jika tidak mencapai harapan ortunya. Terima kasih sudah menulis ini 😘

    BalasHapus
  16. Jangan menitipkan mimpi pada anak-anak... aku terkadang penasaran mereka besok gede jadi apa ya.. bisa nggak ya mengarahkan, mendampingi dan mendukung anak2 menemukan jalannya...

    BalasHapus
  17. Sepakat bgt sama artikelnya. Dititipi mimpi orang tua, disuruh mikul beban masa lalu dan diandalkan untuk bs seperti yg ortu mau itu bikin mental down justru apalagi saat dewasa yg dunianya begitu kompleks.

    Daei situ ak bertekad ga menaruh apa2 ke anak2, kecuali selalu berikan pendidikan kesehatan dll yg plg terbaik sebisanya. Selebihnya biar mereka menemukan misi spesifik hidupnya :')

    BalasHapus
  18. Saat baca ini aku melihat perspektif orang tua.. Hangat sekali rasanyaa :')

    BalasHapus

Posting Komentar