A directory

Meniti Jejak Sejarah Masjid Tua Di Tepian Mahakam

16 komentar

 

Meniti jejak sejarah masjid tua

Salah satu hal yang menarik di setiap tempat yang kami tinggali adalah sejarah daerah atau kota itu, jadi kala kami pindah ke Samarinda jejak sejarah masjid tua di tepi Sungai Mahakam menjadi tujuan pertama kami. Selain letaknya yang sangat terjangkau juga hasil promosi budaya ala pak suami yang di masa lalunya pernah datang ke masjid ini. Jadi yuk kita jalan!

Perjalanan Meniti Jejak Sejarah Masjid Tua


Rintik hujan yang membasahi kota Samarinda pagi itu tak menyurutkan laju roda dua kami menyusuri jalanan kota Tepian. Sejenak kami beristirahat menunggu hujan sedikit reda di masjid belakang kantor Gubernur, masjid yang masih baru dan nyaman sekali. Lama menunggu, rintik hujan tak juga reda, kami bertekad untuk terus melanjutkan perjalanan ke Samarinda Seberang.

Samarinda, kota yang sudah dua tahun tak lagi kami kunjungi karena harus mutasi ke Kalimantan Utara ini terus bersolek dan semakin cantik. Jembatan baru, berdiri kokoh membelah sungai Mahakam menjadi daya tarik tersendiri. Kami berseru riang melintasinya, lalu memperlambat laju motor dan menikmati riak Sungai Mahakam menyambut hujan kala itu. Berbekal ingatan Abi yang sudah sekian tahun lamanya pernah berkunjung ke sini, namun kini hampir lupa dimana tepatnya masjid tua itu berada, kami membuka google map serta bertanya pada penduduk setempat. Setelah dua kali nyasar akhirnya sampailah kami di masjid tertua di Samarinda ini.

Latak Masjid Shiratal Mustaqim


Terletak di tepian Sungai Mahakam, tepatnya di Jalan Pangeran Bendahara, Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang. Masjid yang bernama Shiratal Mustaqim ini langsung menyita perhatian kami. Meski pakaian basah kuyup karena hujan, kami tetap bersemangat mengelilingi banguan bersejarah ini.

Mencapai masjid ini tidak terlalu sulit, dari pusat kota Samarinda kita berjalan kearah jembatan Mahakam lalu keluar dari jembatan belok ke kiri menyusuri Jalan Bung Tomo, kemudian belok kanan ke Jalan Sultan Hasanudin, belok kiri ke arah jalan HOS. Cokroaminoto, belok sekali lagi ke kanan sampailah kita di Jl. Pangeran Bendahara tempat masjid ini berada.

Bangunan masjid tua

Sejarah Pendirian Masjid


Diresmikan pada 27 Rajab 1311 Hijriah atau 18 Februari 1894 Masehi oleh Sultan Adji Muhammad Sulaiman, raja Kutai saat itu sekaligus menjadi imam yang memimpin solat. Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin kerajaan Islam pada jaman dahulu, selain berperan sebagai pemimpin negara dan pemerintahan juga bisa bertindak sebagai pemangku agama. Dua hal yang harusnya ada pada diri seorang pemimpin ini, kini semakin langka.

Sejarah dibangunnya masjid ini dimulai ketika seorang pedagang dari Pontianak, Said Abdurrahman Assegaf berkunjung ke Samarinda. Melihat pusat perkembangan Islam di Kerajaan Kutai ini, sang pedagang yang semula hanya berdagang, berniat menetap dan turut mendakwahkan Islam di sini. Akhirnya Said Abdurrahman diangkat menjadi ketua adat dan agama oleh Sultan Kutai dan mendapat gelar Pangeran Bendahara. Untuk memfasilitasi dakwah Islam, dibangunlah masjid ini.

Arsitektur Masjid


Begitu sampai di halaman masjid yang sudah berusia 127 tahun ini, seketika teringat masjid tua lainnya yang dibangun oleh kerajaan Kutai yaitu masjid Jami' Aji Amir Hasanudin di kota Tenggarong. Ada kemiripan nuansa, bentuk bangunan dan bahan bangunan. Kearifan lokal mendominasi arsitektur masjid ini. Menggunakan kayu khas hutan Kalimantan, kayu ulin sebagai bahan bangunannya, dengan model rumah panggung seluas 20 x 20 meter dan ruang utama yang berbentuk bujur sangkar serta tiang - tiang kayu yang kokoh menjadi daya tarik utama saat berkunjung ke masjid ini.

Bagian dalam masjid berkarpet hijau


Dominasi warna putih pada dinding bagian dalam masjid, sementara tiang-tiang kayu penyangga utama bangunan masjid dan mimbar berwarna kuning menyala lalu karpet permadani berwarna hijau lumut, perpaduan yang mencolok tapi tetap terlihat serasi. Lampu kristal turut menghiasi bagian dalam masjid tak ketinggalan, kipas angin yang berputar disetiap bagian masjid, membuat jam’ah tetap nyaman beribadah. Partisi yang membatasi jama’ah perempuan dengan laki-laki terbuat dari kayu berwarna kuning dengan penutup berupa kain putih.

Terdapat beberapa pintu dan jendela besar di masjid ini dengan daunnya yang terbuat dari kayu yang kokoh, terbayang pohon ulin yang digunakan untuk membangun masjid ini pasti sangat besar sekali. Di bagian luar masjid, baik dinding maupun warna pintu dan jendela hanya ada dua unsur, hijau dan kuning. Sementara di sisi bagian belakang sebelah kiri terletak bedug sebagai penanda waktu sholat tiba sebelum adzan dikumandangkan.

Dinding kuning mencolok


Di halaman depan sebelah kiri, terdapat menara yang menjulang tinggi. Bergaya arsitektur Yaman berpadu China serta ukiran khas Kutai yang terdapat pada lisplang dan pagar menara. Sungguh perpaduan yang unik. Di depan menara ini terdapat semacam sumur atau kolam yang berisi air, dengan pagar pembatas. Mungkin sumur inilah yang menjadi sumber mata air untuk berwudhu sebelum melaksanakan sholat di zaman dahulu.

Masjid Juara Pada Festival Masjid Bersejarah


Masjid Shiratal Mustaqim pernah menjadi juara kedua pada festival masjid bersejarah se Indonesia pada tahun 2003. Kini, masjid ini menjadi salah satu cagar budaya kota Samarinda sesuai surat keputusan walikota no. 430/013/HK-KSI/I/2020. Dengan ketetapan ini, maka masjid tua ini menjadi situs bersejarah yang sudah seharusnya dijaga kelestariannya.

Sayangnya saat kita berwisata ke masjid tua bersejarah, tidak ada satu pun pemandu yang bisa kita jumpai untuk menjelaskan secara rinci situs bersejarah ini. Namun jangan khawatir, pada bagian depan halaman masjid terdapat semacam majalah dinding yang memuat informasi mengenai masjid ini. Di dalamnya ada flyer yang berisikan foto serta tulisan seputar masjid. Nah di ujung flyer ini ada barcode yang bisa kita akses agar foto dan informasi terkait masjid bisa kita simpan di googe drive untuk dibaca dan dipelajari lagi di rumah. Canggih.

Penutup


Tertarik pada wisata sejarah? Meniti jejak sejarah masjid tua di Samarinda Seberang ini layak untuk diagendakan. Disini kita bisa menambah wawasan sejarah perkembangan Islam di masa Kerajaan Kutai berjaya dari sumber yang otentik secara langsung, seru bukan. Buat anak-anak, wisata sejarah seperti ini juga bisa menjadi referensi visual agar bisa merasakan suasana belajar yang berbeda. Apalagi untuk saat ini, wisata sejarah sepertinya kurang dilirik oleh wisatawan dan masih menjadi pilihan paling akhir dalam daftar agenda travelling.

Jika belum puas hanya mengunjungi masjid saja dan ingin melihat tradisi masyarakat Samarinda lainnya, tak jauh dari masjid ini ada kampung wisata tenun Samarinda. Mata kita akan dimanjakan dengan kain-kain tenun yang cantik dan aneka manik-manik yang menarik.Jadi selain bisa menikmati wisata sejarah masjid tua kita juga bisa belanja oleh-oleh khas Samarinda di sini. 

Yuk kita tebarkan virus berwisata sejarah demi melestarikan ragam pesona dan kekayaan budaya kota kita khususnya juga budaya negeri tercinta ini.


Tami Asyifa
Seorang ibu dengan 7 anak, saat ini sedang menikmati menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya tapi tetap produktif. Pendidikan dan literasi adalah bidang yang menarik bagiku.

Related Posts

16 komentar

  1. Aku justru paling demen kalau berwisata sejarah begini. Karena selalu ada yang bisa digali dari tempat-tempat seperti ini. Aaah, pengen deh keliling dari satu kota ke kota lainnya di negeri ini dan singgah di lokasi-lokasi bersejarah yang penuh dengan cerita-cerita menarik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seru ya mbak. Semoga impian ke kota-kota dengan sejarahnya yang unik bisa segera terwujud.

      Hapus
  2. idem sama yang komen diatas, aku suka wisata sejarah. Apalagi kalau ada tulisan-tulisan yang mengisahkan tentang sejarang tempat itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang pasangan yang cocok dan kompak ini. Asyik dong bisa jalan-jalan berdua... Apalagi kalau anak-anak sudah pada besar.

      Hapus
  3. Hwah dibangun pada tahun 1800-an dan masih berdiri megah sampai saat ini. Sejarah banget. Yang keren, nama masjidnya itu loh Shirotol mustaqim

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ih... Tapi nggak tahu apa alasan di balik pemberian nma itu. Belum bemu referensinya karena pemandu wisatanya nggak ada.

      Hapus
  4. Bucket list saya kalau sudah tua nanti adalah berkeliling ke masjid-masjid tua dan bersejarah di Indonesia. Setelah Indonesia selesai lanjut mengunjungi masjid tua di luar negeri. Semoga terwujud bucket list saya. Aamiiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga segera terwujud ya mbak Desi. Semangat....!

      Hapus
  5. Asik banget si bu wisata ke tempat bersejarah. Kesannya tuh lebih asyik aja si daripada wisata kekinian yang mirip-mirip konsepnya. Kalau ke masjid tua gini kan jadi belajar banyak hal yang mungkin beda sama tempat lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lebih natural gitu ya, daripada yang buatan ala-alaku dan kesan instagramable gitu. Cuma buat foto-foto doang... Nilai yang hendak ditawarkan apa gitu.

      Hapus
  6. Bu Tami suka travelling ya, seru deh baca-baca cerita perjalanannya

    BalasHapus
  7. Emang seru sekali ya Bu.. kita jadi bisa menilik ulang bagaimana cerita tempat itu.. hehee

    BalasHapus
  8. Jadi pengen jalan-jalan nih. Kapan ya..boleh jalan-jalan keluar kota..

    BalasHapus
  9. Masya Allah jadi pengen ngulik masjid-masjid yang ada di Lombok hihi. Kan di sini terkenal dengan seribu masjidnya.

    BalasHapus
  10. Tiap kali ke blog Bu Tami, selalu disuguhi virtual traveling. Asiiik. Pengen juga menjelajah mesjid.

    BalasHapus
  11. Arsitektur masih murni yah, Kak. Seru memang wisata religi tuh..

    BalasHapus

Posting Komentar