A directory

Farih dan Anak-Anak Kucing yang Dibawanya ke Rumah

Posting Komentar


Farih, bungsu kami penyayang binatang. Sejak kecil ia berharap bisa memelihara binatang, terlebih ketika melihat anak-anak kucing yang imut dan lucu. Selalu merengek agar diizinkan memelihara anak kucing. "Satu saja Bun". Bujuk rayunya. Sementara saya, paling tidak suka dengan binatang apapun untuk dipelihara. Binatang itu, meninggalkan kotoran, beda dengan tanaman. Dua hal ini yang membuat bunda dan anak tidak pernah matching.

Tidak suka memelihara binatang bukan berarti tidak suka binatang peliharaan. Kucing misalnya, bagaimanapun juga binatang yang satu ini selain lucu juga gampang berinteraksi dengan manusia. Rumah kami sering didatangi kucing karena abi dan anak-anak pada rajin memberi makan. Bahkan sengaja menyediakan makanan kucing instan sebagai persediaan ketika ada kucing datang dan kami tidak punya ayam atau ikan.

Menyadari manfaat memelihara binatang bagi anak-anak, seperti yang dibahas pada banyak artikel parenting. Memelihara binatang, selain memupuk rasa empati dan kasih sayang, juga melatih mereka untuk belajar bertanggung jawab. Agar tidak menjadi hutang pengasuhan dan memberi pengalaman belajar pada anak, akhirnya saya pun mengizinkannya memelihara binatang. Dengan syarat, harus siap dengan segala konsekuensinya diantaranya harus memberi makan, mengurus dengan benar, dan tidak lalai yang mengakibatkan binatang peliharaan mati.

Binatang yang boleh dipelihara di rumah


Saya hanya mengizinkan anak-anak memelihara ikan. Saya pikir, binatang ini paling aman untuk dipelihara di rumah. Tak perlu repot mengurus kotorannya dan tidak beresiko menyebarkan bau tak sedap di rumah. Dari ikan, berkembang dengan hadirnya kura-kura mini yang menemani hari-hari bermain anak-anak hingga akhirnya harus kami hibahkan kepada teman saat kami harus pindah ke luar kota dan luar pulau. Ribet bawanya.

Sampai anak-anak tumbuh besar, hanya dua binatang ini yang mendapat izin tinggal di rumah. Ikan dan kura-kura. Sampai suatu saat, sepasang kelinci berhasil diboyong ke rumah setelah Farih dan abi melewati deretan penjual kelinci. Sepasang kelinci menjadi bintang ketiga yang berhasil mampir ke rumah dan menjadi anggota keluarga hampir 6 bulan lamanya. Tumbuh besar dan mencemaskan. Saya pun jadi sayang pada kelinci ini sampai ketika kami harus pergi ke luar kota dalam waktu yang lama dan tidak ada yang bisa kami titipin binatang peliharaan ini. Akhirnya sepasang kelinci menjadi sate kelinci di awal tahun.

Sejak kepergian kelinci ke alam baka, tak ada binatang yang sengaja kami pelihara. Kecuali ada kondisi khusus yang memaksa kami harus memelihara.

Anak-anak kucing yang harus diselamatkan


Suatu hari, ketika saya sedang di luar kota, anak-anak memberi khabar agar nanti saat bunda pulang jangan kaget ada sesuatu di rumah. Ada yang membuang anak kucing di sekitar rumah. Bayangin, anak kucing yang baru dilahirkan kemudian dipisahkan dari induknya. Tentu saja, suara teriakan anak-anak kucing itu merajalela di sekitar rumah hingga menyentuh rasa iba. Lalu Abi dan anak-anak membawanya ke rumah. Akhirnya anak-anak kucing yang mungil itu menjadi penghuni rumah kardus di pojok rumah.

Segala daya upaya anak-anak lakukan agar anak-anak kucing itu tetap bisa tumbuh besar dan sehat. Mulai menyuapinya dengan susu hingga memberi asupan ikan yang sengaja kami beli khusus untuk kucing-kucing di rumah. Beruntung saat itu kami tinggal di kota ikan lautnya melimpah dan murah. Anak-anak juga bahu membahu membersihkan kotoran, karena bundanya sudah wanti-wanti agar mereka bertanggungjawab.

Namun, upaya terbaik yang bisa mereka lakukan, tetap bukan yang terbaik bagi anak-anak kucing itu. Perlahan, satu demi satu anak kucing itu mati hingga akhirnya tersisa seekor saja. Dan yang seekor itu pun saat memasuki usia 3 bulan, akhirnya hilang dari rumah.

Pengalaman pertama itu kembali terulang di kota yang sama. Suatu hari sekardus anak kucing kembali diletakkan oleh tangan tak bertuan di taman samping kantor yang juga rumah dinas kami. Farih tinggal sendirian di rumah karena kakak-kakaknya sudah sekolah ke Jawa, berusaha memelihara anak kucing itu. Sendirian tapi ia bahagia bisa memelihara anak kucing. Sama seperti yang terdahulu, satu demi satu anak kucing itu pun menemui ajalnya

Satu tahun berlalu sejak kematian kucing- kucing mungil itu. Kami pun sudah pindah ke kota yang berbeda. Suatu siang, di sebuah lapangan rumput yang panas, terdapat anak-anak kucing yang mengeong kepanasan. Abi dan Farih agak bimbang sesaat, dibiarkan akan mati kepanasan dan kelaparan. Dibawa pulang, takut nggak bisa memelihara seperti dulu lagi. Serta takut bunda tidak berkenan.

Setelah bimbang sesaat, abi dan Farih memutuskan untuk membawa sekardus anak kucing itu ke rumah. Daripada mati begitu saja di luar rumah sementara kita tahu kondisi dan bisa menyelamatkan. Kalau pada akhirnya nanti mati juga, setidaknya sudah berusaha merawatnya, begitu pikir mereka.

Hari demi hari dirawatnya kucing-kucing itu, disiapkan susu ketika makanan belum siap untuk diberikan pada mereka. Namun, meski sudah disuapin susu, diberi makanan yang baik, juga kandang yang nyaman. Tetap saja, anak-anak kucing itu tidak berkembang dengan baik tanpa induknya. Satu per satu mati dan terakhir hanya tersisa satu yang bertahan hidup hingga usia 3 bulan.

Kematian anak kucing terakhir


Sisa satu anak kucing menjadi kucing kesayangan Farih. Ia memberi nama hitam. Ya karena bulunya hitam. Si hitam tumbuh dengan baik, semakin besar dan lincah. Manja dan suka dielus.

Usai Maghrib kala itu, hitam sedang bermain di luar rumah. Terdengar kucing besar mengaum dan suara hitam menjerit. Seketika Farih keluar rumah dan mendapati kucing besar mengganggu hitam. Hitam shock sampai tidak bergerak dan bersuara. Sejak saat itu, hitam ketakutan dan mulai tidak mau makan. Beberapa hari setelahnya, hitam hanya berbaring sampai ajal menjemput.

Tentu saja, Farih sedih sampai menangis sesenggukan. Akhirnya kucing terakhir itu mati juga setelah sakit beberapa hari. 

Hikmah sejak kematian kucing terakhir


Baik, sekarang aku punya teori. Begitu si bungsu memulai pembicaraan malam ini. Begini, seorang ibu manusia bisa menjadi ibu dan mengurus anak meski bukan anaknya sendiri. Begitu juga ibu kucing, bisa mengurus anak-anak kucing yang bisa jadi itu bukan anaknya.

Jarang ada yang bukan ibu sejenisnya yang bisa mengurus anak dari jenis lain, begitu ujar bungsu ini pada suatu malam. 

Wait… !
Ini tentang apa? Kenapa anak ini jadi bijaksana malam ini? Rupanya, kematian anak kucing yang diurus selama ini membuatnya berargumen begini. Iya, sejak kucing terakhir itu mati, ia berusaha menemukan hikmah.

Saya hanya bisa menghibur si bungsu yang telah berusaha memelihara anak-anak kucing dengan baik. Rasa sayang dan empati terbangun dengan baik. Semoga kelak ia tumbuh menjadi anak yang penyayang.

Buat manusia yang memelihara kucing, jangan hanya suka pada induknya saja ya. Saat induk punya anak, biarkan saja dulu anaknya tumbuh besar bersama induknya. Setelah besar dan kuat mencari makan sendiri, baru deh dibuang di pasar atau dekat warung makan.

Coba, berperikehewanan dikit gitu dong. Punya empati, bahwa setiap anak dari jenis makhluk apapun pasti butuh induknya dalam tumbuh kembangnya. Begitu juga anak-anak kucing, pasti butuh induknya dan lebih bahagia hidup bareng induknya sampai besar.
Tami Asyifa
Seorang ibu dengan 7 anak, saat ini sedang menikmati menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya tapi tetap produktif. Pendidikan dan literasi adalah bidang yang menarik bagiku.

Related Posts

Posting Komentar